13.6.12

Cinta Karena Allah




Apakah anda masih ingat saat anda jatuh cinta? Atau mungkin saat tengah mengalaminya?
Nah, itu yang sedang terjadi pada salah seorang teman saya...
Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung, dengan mata yang selalu menerawang jauh. Tangannya terkadang sibuk untuk ketak-ketik di telepon genggamnya, sambil sesekali tertawa sendiri karena berbalas pesan dengan sang pujaan hati, sampai dia lupa kalau ada orang yang sedang mengobrol di sampingnya. Di lain waktu dia suka menangis tiba-tiba karena sedang bertengkar dengan kekasihnya. Tetapi di lain hari ia kembali berseri karena sudah damai kembali dengan kekasihnya. Lagu-lagu romantis kembali menjadi akrab di telinganya. Penampilan pun menjadi lebih rapi. Dan seakan-akan semuanya jadi tampak lebih indah dan warna-warni.

Saya berpikir melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung terbesit di hati ingin merasakan hal seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya ? 

Dan sobat, kenapa ya saat sedang jatuh cinta kita merasa senang dan bahagia? Menurut Robert Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan, dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari "skenario" yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.
(http : //e-psikologi.com, pada pembahasan tentang "Cinta)

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti yang saya ceritakan di atas? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia atau berupa godaan? Bagaimana sebenarnya Islam memandang akan hal ini? Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Jadi Allah SWT telah memberi pesan mengenai perbedaan antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan cintanya. Orang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta, tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS. 33 : 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS. 4 : 36), yaitu "Kedua orang ibu-bapak, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah". 
(QS. 9 : 24). Subhanallah !

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan itu bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Diantara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al-Qur'an dan berdzkir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila sang khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Sang Rabb kekasihnya melalui shalat tahajud.
Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Sekarang saya baru mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa di dengar, dibenarkan, tidak di bantah, dan ditaatinya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap perilaku dan tutur katanya. Rasa takut dan cemas selalu hadir kalau-kalau dia menjauhi-Nya, bahkan hatinya merana saat membayangkan azab Rabb-Nya akibat kealpaanya. Dan qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Dan juga hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah perasaan cinta yang sempurna...
Saya bersyukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang, cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menhendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu seperti kasus di atas.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah penuh rahmah dan amanah...
Betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...
Ternyata Islam itu indah...Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah."

Menurut Hamka, "Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan, tetapi cinta menghidupkan penghargaan, meguatkan hati dalam perjuangan, menempuh onak dan duri penghidupan."
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, ada persoalan besar yang harus diperhatikan oleh orang cerdas, yaitu bahwa puncak kesempurnaan, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang ada dalam hati dan ruh tergantung pada dua hal. Pertama, karena kesempurnaan dan keindahan sesuatu yang dicintai, dalam hal ini hanya ada Allah SWT, karena hanya Allah yang paling utama dicintai. Kedua, puncak kesempurnaan cinta itu sendiri, artinya derajat cinta itu yang mencapai puncak kesempurnaan dan kesungguhan.
(Dalam kitab Al-Jawabul Kafi Liman Saala' Anid Dawaaisy-syafi, edisi terjemah. hlm. 255).
Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan, "Semua orang yang berakal sehat menyadari bahwa kenikmatan dan kelezatan yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, kenikmatan yang diperoleh ketika mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna."

Ketika jatuh cinta pun kita harus tetap iffah alias menjaga kehormatan dan kesucian diri. Ibnu Abbas berkata bahwa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk surga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah karena Allah dan menyimpan cintanya karena Allah. Dan, ini tidak akan terjadi kecuali bila ia mampu menahan perasaannya kepada ma'syuq-nya (kepada orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepada-Nya, dan ridha dengan-Nya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat derajat yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an :
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal (nya)." (QS. An-Naazi'aat [79] : 40-41).
Kita boleh aja untuk jatuh cinta. Tapi, tetap harus menjaga kehormatan dan kesucian diri. Yakni dengan cara tetap menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemandu hidup kita. Kita melakukan perbuatan atas dasar petunjuk dari Allah SWT lewat Al-Qur'an dan petunjuk dari Rasulullah SAW berupa As-Sunnah. Inilah pedoman hidup kita.

Wallahua'lam bish-showab...

Dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment