Apakah anda masih ingat saat anda jatuh cinta? Atau
mungkin saat tengah mengalaminya?
Nah, itu yang sedang terjadi pada
salah seorang teman saya...
Akhir-akhir ini tingkah lakunya
berubah drastis. Ia jadi suka termenung, dengan mata yang selalu menerawang
jauh. Tangannya terkadang sibuk untuk ketak-ketik di telepon genggamnya, sambil
sesekali tertawa sendiri karena berbalas pesan dengan sang pujaan hati, sampai
dia lupa kalau ada orang yang sedang mengobrol di sampingnya. Di lain waktu dia
suka menangis tiba-tiba karena sedang bertengkar dengan kekasihnya. Tetapi di
lain hari ia kembali berseri karena sudah damai kembali dengan kekasihnya.
Lagu-lagu romantis kembali menjadi akrab di telinganya. Penampilan pun menjadi
lebih rapi. Dan seakan-akan semuanya jadi tampak lebih indah dan warna-warni.
Saya berpikir melihat cintanya yang
begitu mendalam. Namun, tak urung terbesit di hati ingin merasakan hal seperti
dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah lebih dari mencintai
makhluk dan segala ciptaan-Nya ?
Dan sobat, kenapa ya saat sedang jatuh
cinta kita merasa senang dan bahagia? Menurut Robert Sternberg, cinta adalah
sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut
merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu
hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan,
dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari "skenario" yang
sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya.
Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam
sebuah hubungan.
(http : //e-psikologi.com, pada
pembahasan tentang "Cinta)
Lantas apakah kita tidak boleh
mencintai seseorang seperti yang saya ceritakan di atas? Bagaimana menyikapi
cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah
karunia atau berupa godaan? Bagaimana sebenarnya Islam memandang akan hal ini?
Tak mudah rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.
Jadi Allah SWT telah memberi pesan
mengenai perbedaan antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman
melalui indikator perasaan cintanya. Orang beriman akan memberikan porsi,
intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada Allah SWT.
Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada selain
Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.
Islam menyajikan pelajaran yang
berharga tentang manajemen cinta, tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun
skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah
SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS. 33 : 71). Cinta pada sesama makhluk
diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS. 4 : 36), yaitu "Kedua orang
ibu-bapak, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi
untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah".
(QS. 9 : 24). Subhanallah !
(QS. 9 : 24). Subhanallah !
Perasaan cinta adalah abstrak. Namun
perasaan itu bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Diantara
tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat
sunnah, membaca Al-Qur'an dan berdzkir karena dia ingin selalu bercengkerama
dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila sang khaliq memanggilnya
melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa
berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk
berduaan (ber-khalwat) dengan Sang Rabb kekasihnya melalui shalat tahajud.
Betapa indahnya jalinan cinta itu!
Sekarang saya baru mengerti mengapa
iman itu diartikan sebagai menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa di dengar,
dibenarkan, tidak di bantah, dan ditaatinya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai
sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa sanggup
berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.
Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT
juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat,
ampunan, dan ridha-Nya pada setiap perilaku dan tutur katanya. Rasa takut dan
cemas selalu hadir kalau-kalau dia menjauhi-Nya, bahkan hatinya merana saat
membayangkan azab Rabb-Nya akibat kealpaanya. Dan qalbunya selalu bergetar
manakala mendengar nama-Nya disebut. Dan juga hatinya tenang bila selalu
mengingat-Nya. Benar-benar sebuah perasaan cinta yang sempurna...
Saya bersyukur ya Allah, saya menjadi
lebih paham sekarang, cinta memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta.
Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak
menhendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti
hawa nafsu seperti kasus di atas.
Jika saja dia mencintai Allah SWT
melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok
mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan
dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah,
mawaddah penuh rahmah dan amanah...
Betapa bahagianya dia di dunia dan
akhirat...
Ternyata Islam itu indah...Di dalamnya
ada syariat yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengelola perasaan
cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih
abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym,
seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam
bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan
pohon, akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah."
Menurut Hamka, "Cinta bukan
melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan,
tetapi cinta menghidupkan penghargaan, meguatkan hati dalam perjuangan,
menempuh onak dan duri penghidupan."
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, ada
persoalan besar yang harus diperhatikan oleh orang cerdas, yaitu bahwa puncak
kesempurnaan, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang ada dalam hati dan
ruh tergantung pada dua hal. Pertama, karena kesempurnaan dan keindahan sesuatu
yang dicintai, dalam hal ini hanya ada Allah SWT, karena hanya Allah yang
paling utama dicintai. Kedua, puncak kesempurnaan cinta itu sendiri, artinya
derajat cinta itu yang mencapai puncak kesempurnaan dan kesungguhan.
(Dalam kitab Al-Jawabul Kafi Liman Saala' Anid
Dawaaisy-syafi, edisi terjemah. hlm. 255).
Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan,
"Semua orang yang berakal sehat menyadari bahwa kenikmatan dan kelezatan
yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan
cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, kenikmatan yang diperoleh ketika
mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna."
Ketika jatuh cinta pun kita harus
tetap iffah alias menjaga kehormatan dan
kesucian diri. Ibnu Abbas berkata bahwa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk
surga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah karena Allah dan menyimpan
cintanya karena Allah. Dan, ini tidak akan terjadi kecuali bila ia mampu menahan
perasaannya kepada ma'syuq-nya
(kepada orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut
kepada-Nya, dan ridha dengan-Nya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat
derajat yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an :
"Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal (nya)." (QS. An-Naazi'aat [79]
: 40-41).
Kita boleh aja untuk jatuh cinta.
Tapi, tetap harus menjaga kehormatan dan kesucian diri. Yakni dengan cara tetap
menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemandu hidup kita. Kita melakukan
perbuatan atas dasar petunjuk dari Allah SWT lewat Al-Qur'an dan petunjuk dari
Rasulullah SAW berupa As-Sunnah. Inilah pedoman hidup kita.
Wallahua'lam bish-showab...
Dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment